Seru Sih Ini! Aku Menulis Doa, Tapi Tuhan Sudah Memihakmu
Aku Menulis Doa, Tapi Tuhan Sudah Memihakmu
Seratus tahun lalu, di bawah tabir bunga persik yang bermekaran di Lembah Kesunyian, aku berjanji. Janji yang ternoda darah dan pengkhianatan.
Lembah itu kini berubah menjadi Kota Shanghai yang gemerlap. Aku, Lin Wei, seorang novelis muda yang laris manis, merasakan déjà vu yang menyesakkan setiap kali melangkah di antara gedung pencakar langit. Di balik ingar bingar kota modern ini, tersembunyi gema dari masa lalu yang menyakitkan.
Suatu sore di sebuah kedai kopi kuno, tatapanku bertemu dengan mata seorang pria. Mata itu… aku mengenalnya.
Pria itu bernama Zhang Yi. CEO muda yang sukses dan dingin, bagaikan es yang membungkus bara. Senyumnya tipis, nyaris tak kentara, tapi cukup untuk membangkitkan ingatan yang terkubur dalam benakku.
"Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya dengan suara bariton yang membuat jantungku berdegup kencang.
Aku menggeleng pelan, menunduk. "Mungkin hanya perasaan Anda saja."
Namun, takdir punya caranya sendiri. Zhang Yi terus menerus hadir dalam hidupku. Ia membaca setiap novelku, mengkritik dengan tajam, tapi selalu ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Seperti mengenali sesuatu yang tidak bisa diucapkan.
Aku mulai bermimpi. Mimpi-mimpi aneh tentang Lembah Kesunyian, pedang berlumuran darah, dan janji yang diucapkan di bawah pohon persik. Mimpi tentang seorang wanita bernama Meihua dan seorang pria bernama… Zhang Wei.
Semakin dalam aku menggali masa lalu, semakin jelas pula peran kami dalam tragedi seratus tahun lalu. Zhang Wei, seorang jenderal muda yang gagah berani, mencintai Meihua, seorang putri dari klan yang ditindas. Cinta mereka terlarang, penuh intrik dan pengkhianatan. Aku, di kehidupan itu, adalah Meihua. Dan dia… Zhang Yi… dulunya adalah Zhang Wei.
Rahasia terungkap satu per satu. Pengkhianatan orang terdekat. Perebutan kekuasaan yang haus darah. Dan janji suci yang dilanggar: untuk melindungi Meihua dengan nyawanya sendiri. Tapi Zhang Wei gagal. Ia mati di hadapan Meihua, meninggalkan luka yang menganga di jiwa kami berdua.
Di kehidupan ini, Zhang Yi tidak ingat. Tapi aku ingat semuanya. Aku ingat sakitnya dikhianati. Aku ingat kepedihan kehilangan. Aku ingat janji yang tak terpenuhi.
Aku menulis. Menulis setiap detail masa lalu kami dalam novelku. Aku menuangkan semua amarah, kesedihan, dan kerinduanku ke dalam kata-kata. Aku menulis doa, berharap agar takdir tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Novelku menjadi fenomenal. Orang-orang terhanyut dalam kisah cinta tragis antara Meihua dan Zhang Wei. Mereka menangis, mereka marah, mereka merasa. Dan Zhang Yi… dia membacanya berulang kali, seperti mencari kepingan yang hilang dalam dirinya.
Akhirnya, kebenaran terungkap. Ingatannya kembali. Zhang Yi mengingat semuanya.
Ia datang menemuiku, wajahnya pucat pasi. "Meihua… maafkan aku. Aku gagal melindungimu."
Aku menatapnya dalam diam. Tidak ada air mata. Tidak ada kemarahan. Hanya keheningan.
Selama seratus tahun, aku memendam dendam. Aku ingin membalas sakit hati. Tapi sekarang, di hadapannya, aku tidak merasakan apa-apa selain… pengampunan.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan," ucapku lirih. "Kau sudah membayar lunas dosamu dengan seratus tahun kesepian."
Aku tidak akan membalas dendam. Dendam tidak akan mengembalikan apa yang hilang. Aku akan membiarkannya hidup dengan penyesalannya. Itu adalah hukuman terberat yang bisa kuberikan.
Aku pergi, meninggalkan Zhang Yi berdiri terpaku di tempatnya. Aku tahu, ia akan terus dihantui oleh bayangan masa lalu. Bayangan Meihua. Bayangan cinta yang tidak bisa ditebus.
Aku terus menulis. Menulis tentang cinta, pengorbanan, dan harapan. Menulis tentang takdir yang bisa diubah dengan pilihan. Menulis tentang…
…bisikan dari kehidupan sebelumnya: "Jangan lupakan janjiku, Meihua. Aku akan menemukanmu, di kehidupan manapun…"
You Might Also Like: Unleash Your Divine Design Mastering