Cerpen Seru: Aku Menunggu Pagi, Tapi Yang Datang Hanya Kabar Kematianmu.
Aku Menunggu Pagi, Tapi Yang Datang Hanya Kabar Kematianmu.
Malam itu seperti tirai beludru hitam yang tak berujung. Salju turun dengan ganas, menutupi segalanya dengan selimut putih yang dingin dan mematikan. Di tengah hamparan itu, berdiri Paviliun Anggrek yang megah, namun terasa kosong, hampa. Di dalamnya, seorang wanita bernama Mei Lan, berpakaian serba hitam, berdiri tegak bagai patung. Api di perapian menari liar, memantulkan bayangan aneh di wajahnya yang pucat.
Sudah sepuluh tahun. Sepuluh tahun ia menunggu. Menunggu suaminya, Lin Wei, kembali dari medan perang. Sepuluh tahun ia memendam cinta dan kebencian, harapan dan keputusasaan. Namun, pagi ini, surat itu tiba. Bukan surat cinta, bukan kabar kemenangan, melainkan KABAR KEMATIAN.
Hatinya seperti dicabik-cabik. Air mata mengalir deras, membasahi pipinya yang dingin. Ia mencengkeram erat liontin giok berbentuk naga yang selalu ia bawa, satu-satunya peninggalan Lin Wei.
Dupa mengepul di altar leluhur, aromanya yang pahit bercampur dengan bau darah dari luka di tangannya. Luka itu sengaja ia toreh, sebagai persembahan bagi roh Lin Wei. "Kau berjanji akan kembali," bisiknya lirih, suaranya bergetar. "Kau berjanji akan membawaku pergi dari neraka ini. Tapi kau mengingkarinya!"
Dulu, cinta mereka membara seperti api unggun. Tapi, cinta itu ternoda oleh rahasia kelam keluarga Lin. Sebuah rahasia tentang pengkhianatan, kekejaman, dan pembunuhan. Rahasia yang Lin Wei coba lindungi, namun justru menghancurkannya.
Mei Lan tahu semuanya. Ia tahu bahwa kematian Lin Wei bukanlah kecelakaan. Ia tahu bahwa ada tangan-tangan kotor yang terlibat, tangan-tangan yang haus kekuasaan dan darah. Tangan-tangan yang berada sangat dekat dengannya.
Malam semakin larut. Mei Lan berjalan menuju balkon, menatap hamparan salju yang kini berwarna merah. DARAH DI SALJU. Ia ingat kata-kata Lin Wei dulu, "Aku akan melindungimu, Mei Lan. Walau nyawa taruhannya."
Janji di atas abu. Itulah yang tersisa dari cinta mereka. Abu kekecewaan, abu kesedihan, abu dendam.
Esoknya, di pemakaman keluarga Lin yang megah, Mei Lan berdiri di depan peti mati Lin Wei. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Di sekelilingnya, para tetua keluarga berkumpul, saling berbisik dan berspekulasi. Mereka tidak tahu apa yang menanti mereka.
Dengan tenang, Mei Lan mengangkat gelas anggur dan menuangkannya di atas makam Lin Wei. "Istirahatlah dengan tenang, suamiku," ucapnya dengan suara dingin. "Aku akan membalaskan dendammu."
Perlahan, ia mengangkat wajahnya dan menatap satu per satu anggota keluarga Lin. Di matanya, memancar OBOR balas dendam yang membara. Ia tersenyum tipis, senyum yang lebih mengerikan daripada jeritan.
Balas dendam Mei Lan sangat tenang, namun mematikan. Ia menggunakan kecerdasannya, pesonanya, dan pengetahuannya tentang rahasia-rahasia keluarga Lin untuk menjatuhkan mereka satu per satu. Skandal, pengkhianatan, dan pembunuhan merajalela di keluarga Lin. Semua itu diatur oleh Mei Lan dari balik layar.
Akhirnya, hanya tersisa satu orang: Tetua Lin, kepala keluarga yang kejam dan berkuasa. Mei Lan menghadapinya di Paviliun Anggrek, di tempat Lin Wei menghembuskan nafas terakhirnya.
"Kau tahu, Tetua Lin," kata Mei Lan dengan nada sinis. "Kau telah membunuh suamiku. Kau telah menghancurkan hidupku. Sekarang, giliranmu yang merasakan sakitnya."
Tanpa menunggu jawaban, Mei Lan mengeluarkan sebilah pisau belati yang TERSEMBUNYI di balik gaunnya. Dengan gerakan cepat dan mematikan, ia menusuk Tetua Lin tepat di jantungnya.
Darah memuncrat ke lantai, mewarnai karpet sutra menjadi merah. Tetua Lin jatuh tersungkur, matanya terbelalak ketakutan. Mei Lan berdiri di atasnya, menatapnya dengan tatapan dingin dan tanpa ampun.
"Aku menunggu pagi, Tetua Lin," bisiknya. "Tapi yang datang hanyalah kabar kematianmu. Dan sekarang, giliranmu merasakan KEABADIAN malam yang tak berujung."
Mei Lan meninggalkan Paviliun Anggrek, meninggalkan mayat Tetua Lin tergeletak di sana. Ia berjalan keluar, menuju kegelapan malam. Di kejauhan, lolongan serigala terdengar memilukan.
Di bawah taburan salju yang terus turun, di tengah malam yang sunyi senyap, dia tersenyum—sebelum suara gemerisik halus menyusup dari bayang-bayang di belakangnya, dingin seperti sentuhan maut yang akan segera datang.
You Might Also Like: Reseller Skincare Bisnis Tanpa Stok_22