Air Mata Yang Menjadi Hujan Pertama
Air Mata yang Menjadi Hujan Pertama
Aula emas istana bergemerlapan, memantulkan cahaya ratusan lilin. Namun, kehangatan cahaya itu tak mampu menembus dinginnya atmosfir yang mencekam. Para pejabat berdiri tegak, wajah mereka topeng tanpa ekspresi, mata mereka mengawasi setiap gerakan. Bisikan-bisikan pengkhianatan mengular di balik tirai sutra, aroma wewangian mahal bercampur dengan bau amis ketakutan. Inilah istana, sarang intrik dan rahasia, tempat kekuasaan dimainkan seperti sebuah permainan mematikan.
Di tengah pusaran itu, berdiri dua sosok yang terikat takdir yang rumit: Putri Lian, pewaris takhta yang anggun namun rapuh, dan Jenderal Zhao, panglima perang yang gagah berani, kekasih rahasianya.
Cinta mereka terlarang, sebuah bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menghancurkan segalanya. Putri Lian, yang dituntut untuk menikahi pangeran dari kerajaan tetangga demi stabilitas politik, terombang-ambing antara cinta dan kewajiban. Jenderal Zhao, yang berjanji setia melindungi sang putri dengan nyawanya, terperangkap dalam jaring-jaring kekuasaan yang rumit.
"Aku berjanji padamu, Lian," bisik Zhao di balik pilar marmer yang dingin, suaranya serak, "aku akan melindungimu, selamanya."
Lian, dengan mata berkaca-kaca, menggenggam erat tangan Zhao. "Janji... bisa menjadi pedang, Zhao. Hati-hati dengan kata-katamu."
Setiap tatapan curi-curi, setiap sentuhan singkat, setiap pertemuan rahasia adalah perjudian besar. Cinta mereka adalah permainan takhta, di mana setiap langkah salah bisa berakibat fatal.
Waktu terus bergulir, dan badai intrik semakin menggila. Pangeran dari kerajaan tetangga tiba, senyumnya licik, matanya haus kekuasaan. Ia tahu tentang hubungan Lian dan Zhao, dan ia siap menggunakan rahasia itu untuk menghancurkan mereka.
Lian, terpojok dan putus asa, terpaksa membuat keputusan yang menghancurkan hatinya. Di depan seluruh istana, dengan suara bergetar, ia mengumumkan keputusannya untuk menikahi pangeran. Zhao, terpaku di tempatnya, merasakan dunianya runtuh.
Namun, di balik air mata dan keputusasaan, Lian menyembunyikan sebuah rencana. Ia berpura-pura menjadi wanita yang lemah dan penurut, tetapi di dalam hatinya, bara balas dendam menyala-nyala.
Malam pernikahan tiba. Aula emas kembali bergemerlapan, tetapi kali ini, atmosfirnya lebih mencekam dari sebelumnya. Lian, dalam balutan gaun pengantin merah darah, berdiri anggun di samping pangeran. Di tangannya, ia menggenggam cawan berisi anggur.
"Untuk kebahagiaan kita," ucap Lian, suaranya dingin dan tanpa emosi. Ia mengangkat cawan itu, lalu memberikannya kepada pangeran. Pangeran, dengan senyum kemenangan, meminum anggur itu hingga tandas.
Seketika, ia terhuyung, mencengkeram dadanya. Wajahnya memerah, lalu membiru. Ia jatuh ke lantai, kejang-kejang.
Racun. Racun mematikan yang tidak meninggalkan jejak.
Lian menatap tubuh pangeran yang terkapar tanpa ekspresi. Tatapannya kemudian beralih ke Zhao, yang berdiri mematung di tengah kerumunan.
"Kau salah menilaiku, semuanya," ucap Lian, suaranya menggema di seluruh aula. "Aku tidak lemah. Aku hanya... sabar."
Dengan elegan, ia berbalik dan melangkah keluar dari aula, meninggalkan istana yang gempar di belakangnya.
Jenderal Zhao, kini bebas dari ikatan kesetiaan pada putri yang telah berubah, melepaskan pedangnya.
Dan ketika tetes air mata Putri Lian jatuh ke tanah, tetes itu menjadi hujan pertama, hujan yang menyapu bersih sejarah lama dan memulai babak baru.
Dan kemudian… sejarah sekali lagi menulis ulang dirinya sendiri!
You Might Also Like: Skincare Lokal Dengan Bahan Premium