Kisah Populer: Air Mata Yang Menetes Di Balik Tirai Putih
Lorong istana itu sunyi. Seperti kain kafan yang membungkus masa lalu. Kabut tipis menyelimuti dinding-dinding berlumut, meresap ke dalam tulang, meninggalkan dingin yang abadi. Di ujung lorong, sehelai tirai putih berayun pelan, ditiup angin yang entah datang dari mana. Di baliknya, sosok itu berdiri.
Li Wei.
Dulu, dia adalah putra mahkota yang dicintai, pewaris takhta Dinasti Ming. Lalu, dalam semalam, dia lenyap. Dianggap tewas dalam pemberontakan yang kejam. Sekarang, lima belas tahun kemudian, dia kembali. Tapi bukan sebagai Li Wei, sang pangeran. Melainkan sebagai Bai Lian, seorang tabib misterius dengan mata sedalam jurang.
"Kau kembali," bisik Permaisuri Dowager, suaranya serak, memecah keheningan lorong. Kerut-kerut dalam di wajahnya tampak semakin dalam di bawah cahaya rembulan yang menerobos celah tirai. "Kupikir kau sudah lama mati."
Bai Lian, atau Li Wei, tidak bergeming. "Kematian adalah ilusi, Maharani. Terkadang, kita hanya bersembunyi, menunggu waktu yang tepat untuk bangkit kembali."
Dia melangkah mendekat, aroma obat herbal dan sesuatu yang pahit menguar dari tubuhnya. "Kudengar, kekaisaran makmur di bawah kepemimpinan Kaisar Rong. Anakku, adikku… Apa dia bahagia?"
"Bahagia?" Permaisuri Dowager tertawa hambar. "Kebahagiaan adalah kemewahan yang tidak pantas untuk seorang kaisar. Terutama kaisar yang dibangun di atas pengkhianatan."
Bai Lian berhenti tepat di depan tirai putih. Wajahnya tersembunyi dalam bayangan. "Pengkhianatan? Kau berbicara seolah-olah kau tidak terlibat dalam pemberontakan itu, Ibu."
Permaisuri Dowager tertegun. Mata tuanya membelalak. "Apa maksudmu?!"
"Kukira kau tahu. Pemberontakan itu… direncanakan dengan cermat, bukan? Untuk menyingkirkanku, agar adikku bisa naik takhta. Kau selalu menginginkannya, bukan? Kekuatan itu."
Tirai putih itu berayun semakin kencang, seolah menari dalam irama rahasia yang terpendam.
"Kau… bagaimana kau bisa tahu?" Permaisuri Dowager gemetar, bukan karena dingin, tapi karena ketakutan yang mencengkeram.
Bai Lian mengangkat tangannya. Dari balik tirai, sosok lain muncul. Kaisar Rong, pucat dan ketakutan, dengan belati di tangannya. Tapi tangannya gemetar, tak mampu menahan senjata itu.
"Aku tidak pernah benar-benar mati, Adik. Aku hanya bersembunyi. Belajar. Merencanakan. Dan yang paling penting… Mengamati. Aku melihat semua yang kau lakukan, semua kebohongan yang kau ucapkan, semua nyawa yang kau korbankan untuk kekuatan."
Dia menoleh, menatap Permaisuri Dowager dengan mata yang dingin dan menghakimi. "Dan kau, Ibu… Kau adalah dalang dari semua ini. Kau pikir aku tidak tahu? Kau pikir aku tidak melihat tatapan haus kekuasaan di matamu?"
Permaisuri Dowager merosot ke lantai, tangisnya pecah. Tirai putih itu terus berayun, menutupi wajahnya yang remuk.
Bai Lian mendekat, berbisik lembut di telinga Permaisuri Dowager. "Kau tahu, bukan? Bahwa tabib yang merawat Kaisar Rong selama bertahun-tahun… yang perlahan-lahan meracuninya… adalah aku?"
Kaisar Rong jatuh berlutut, belatinya terlepas dari tangannya. Dia menatap Bai Lian dengan ngeri. Kebenaran akhirnya terungkap, seperti pisau tajam yang menusuk jantung. Korban yang selama ini dikasihani… ternyata adalah pemain utama dalam sandiwara kelam ini.
Bai Lian, yang dulu adalah Li Wei, berdiri tegak di balik tirai putih. Angin bertiup semakin kencang, mengibarkan kain itu seperti bendera kemenangan. Di matanya, terpancar kilatan dingin dan KEPUASAN yang mendalam.
Dan, di balik tirai itu, kekaisaran akan dibangun kembali... di atas air mata dan kebohongan.
You Might Also Like: Panduan Rekomendasi Skincare Lokal